Hampir semua orang Syiah pernah melihat atau bahkan menyimpan gambar dari lukisan mengenai peristiwa Karbala. Berlatarkan gurun panas kecoklatan dan seekor kuda putih yang sedang dipeluk oleh beberapa wanita berjubah hitam, lukisan ini selalu hadir di bulan Muharam baik menjadi latar sebuah poster, t-shirt, atau sampul buku. Lukisan dengan judul asli The Evening of Ashura tersebut merupakan salah satu mahakarya Mahmoud Farshchian, seorang maestro miniatur dan lukisan Persia, yang karya-karyanya telah ditampilkan di berbagai museum dan pameran dunia.

Lukisan tersebut bermula pada hari Asyura, tiga tahun sebelum revolusi Islam Iran terjadi. Saat itu, ibu dari Mahmoud Farshchian menyuruhnya untuk mendengarkan Rowzeh-Khani, sebuah eulogi atau puji-pujian tentang Imam Husain, cucu Nabi Muhammad saw. Karena memiliki pekerjaan lain, Mahmoud menunda untuk mendengarkannya. Namun setibanya di kamar, Mahmoud langsung merasa sedih. Dia merasakan sesuatu yang aneh dan segera mengambil kuas untuk mulai melukis The Evening of Ashura. Lukisan tersebut kemudian didonasikan untuk museum Imam Ridha, Mashhad.

DSC_0275

Mahmoud Farshchian mengatakan ada sesuatu di dalam lukisan tersebut yang dapat membuatnya menangis dan jika dia melukiskannya lagi hari ini maka pasti hasilnya akan sama. Menurutnya, imagism bukanlah bagian dari sebuah lukisan. Imam Husain a.s. yang menjadi tema utama lukisan tersebut justru tidak nampak. Lukisan tersebut memiliki daya tarik dari ketidakhadiran karakter utama. Orang yang melihat akan mencari karakter utama yang menjadi pusat peristiwa Asyura yang seolah-olah tersembunyi, meskipun terdapat banyak petunjuk yang dapat menjelaskan situasi yang telah terjadi.

Kabar mengenai apa yang terjadi di medan pertempuran disampaikan oleh kuda yang kembali ke kemah tanpa penunggang. Mahmoud mengatakan bahwa hanya ada satu mata yang nampak dalam lukisan tersebut, sementara wajah-wajah yang lain tertutup. Mata itulah yang menyaksikan kesyahidan (Imam Husain). Tunduknya kepala kuda menegaskan tentang apa yang terjadi. Air mata yang mengalir dari mata kuda merefleksikan rasa malu (mortification) seekor hewan yang membawa kabar buruk.

Sementara burung-burung yang terkena darah para syahid merupakan pembawa pesan dari tragedi yang sesungguhnya. Kehadiran Zainab a.s. dan beberapa orang lain di pusat lukisan telah menambah daya tarik. Secara teknis, menurut Mahmoud[1], ilustrasi tersebut tidak akan bisa menampilkan perasaan kerinduan yang sesungguhnya jika hadir terlalu banyak orang. Lekukan pohon palem dan tenda yang ada di sisi kanan saling melengkapi untuk memusatkan perhatian orang yang melihat. Leher kuda dan sarung pedang sama-sama membuat sebuah lingkaran yang menekankan sebuah kontinuitas.

Bagi Farshchian, seorang seniman—dengan anugerah seninya—bisa berada dalam kondisi cinta yang terus-menerus dan berhubungan dengan yang Maha Esa. Transformasi batin yang mengikuti pengalaman tersebut dapat menggiring seorang artis kepada alam (realm) yang lebih luas; sebuah alam di mana kualitas lahir dan fisik yang dicintai kehilangan warna dan makna bagi sang seniman. Begitulah seorang seniman dapat menemukan esensi dari Sang Pencipta, dari objek cinta yang dia ciptakan. Segala ekspresi kecintaan pada alam ini adalah pujian bagi-Nya.

Mungkin itulah sebabnya, ketika ditanya tentang penjualan karyanya, Mahmoud Farshchian mengatakan[2], “Saya tidak perlu menjual karya-karya saya. Alhamdulillah saya tidak membutuhkannya. Isu materi tidak bermakna bagi saya. Mungkin saja salah satu karya saya berujung di sebuah pelelangan, tapi saya tidak pernah menjual karya saya demi sejumlah uang.”

Referensi:

[1] ^ “Master Farshchian Talks about His Painting the Evening of Ashura”. YouTube.

[2] ^ “How Humans React to Art has Nothing to do with Nationality”. Iran Front Page. Diakses 12 Oktober 2014.

8 respons untuk ‘Cerita di Balik Lukisan Masyhur “Malam Asyura”

  1. moment yg mengingatkan kembali pengkhianatan syiah thdp Husein Ra..
    berikut sepenggal catatan ulama sejarawan syiah masa itu yg perlu dipikirkan. dan direnungkan :

    bahwa syits bin rabi yang mengepalai 4.000 orang bala tentara untuk menentang Husain radhiyallahu anhu, dan dialah orang yang mula-mula turun dari kudanya untuk memenggal kepala Husain radhiyallahu anhu. (Jilaau al-Uyun dan Khulashatu al-Mashaaib, hal. 37).
    Qadhi Nurullah Syusytari menulis di dalam bukunya Majalisu al-Mu’minin

    siapa syits bin rabi si mahluk durjana celaka itu ? namun kok gak pernah dilaknat para pemutah ?
    syits bin rabi adalah seorang Syiah tulen, pernah menjadi duta Ali radhiyallahu anhu di dalam peperangan Shiffin, dan senantiasa bersama Husain radhiyallahu ‘anhu.

    Qadhi Nurullah Syusytari pula menulis di dalam bukunya Majalisu al-Mu’minin bahwa setelah sekian lama (lebih kurang 4 atau 5 tahun) Husain radhiyallahu ‘anhu terbunuh, pemuka orang-orang Syiah mengumpulkan kaumnya dan berkata,
    bahwa setelah sekian lama (lebih kurang 4 atau 5 tahun) Husain radhiyallahu ‘anhu terbunuh, pemuka orang-orang Syiah mengumpulkan kaumnya dan berkata,
    “Kita telah memanggil Husain radhiyallahu anhu dengan memberikan janji akan taat setia kepadanya, kemudian kita berlaku curang dengan membunuhnya. Kesalahan kita sebesar ini tidak akan diampuni kecuali kita berbunuh-bunuhan sesama kita.” Dengan itu berkumpullah sekian banyak orang Syiah di tepi Sungai Furat sambil mereka membaca ayat (artinya), “Maka bertaubatlah kepada Tuhan yang telah menjadikan kamu dan bunuhlah dirimu. Itu adalah lebih baik bagimu pada sisi Tuhan yang menjadikan kamu.” (QS. Al-Baqarah: 54). Kemudian mereka berbunuh-bunuhan sesama mereka. Inilah golongan yang dikenali dalam sejarah Islam dengan gelar “at-Tawwaabun.”

Komentar Anda?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.