Sisi Positif Impian Amerika Serikat bagi Suni dan Syiah

Drama tragis karya Shakespeare, Romeo & Juliet, diawali dengan perseteruan antara jagoan-jagoan Montague dan Capulet; musuh bebuyutan yang berperang atas nama tuan mereka. Melihat kekerasan sektarian kini, Shakespeare bisa jadi akan menulis tentang muslim suni dan Syiah; dua mazhab yang saat ini terlibat pergulatan selama 1.400 tahun. Sebenarnya, kedua mazhab juga mewariskan kerja sama, pernikahan, dan kedamaian sebagai gambaran hubungan suni-Syiah sejak wafatnya nabi. Kisah Wajahat Ali bisa merefleksikan pernyataan itu.

Lanjutkan membaca “Sisi Positif Impian Amerika Serikat bagi Suni dan Syiah”

Awalnya Tak Disenangi, Kini Syiah Semakin Diterima

Tahun 2005, Faiyaz Jaffer, mahasiswa baru di Universitas Stony Brook, masuk ke ruang salat Jumat di kampusnya. Jaffer melakukan salat seperti biasa, bersama dengan Asosiasi Mahasiswa Muslim (MSA). Jaffer membiarkan tangannya lurus, tidak sedekap seperti yang lain. Dia juga menggunakan turbah, sebuah gumpalan tanah tempatnya sujud. Selesai salat, sekelompok mahasiswa suni mendekatinya. “You’re not welcome over here. Jangan gunakan ruangan ini lagi, jika masih salat seperti itu,” kata mereka.

Lanjutkan membaca “Awalnya Tak Disenangi, Kini Syiah Semakin Diterima”

Dilema Suni-Syiah (7): Islam Lebih Utama

Raya Shokatfard kembali ke Amerika Serikat dengan semangat baru untuk melanjutkan penelitiannya tentang suni-Syiah. Semangat yang muncul karena buku-buku dari Iran telah tiba. Tapi semangatnya itu dihentikan oleh propaganda media terhadap Islam yang semakin agresif selepas tragedi 11 September. Setiap hari, televisi menayangkan: muslim adalah musuh dan Amerika Serikat diisi orang-orang baik. Raya sadar meski mereka menyerang Taliban, tapi sebenarnya mereka menyerang Islam. Lanjutkan membaca “Dilema Suni-Syiah (7): Islam Lebih Utama”